Sabtu, 17 November 2007

TSUNAMI, GELOMBANG PASANG DAN SEMPADAN PANTAI

Oleh : Djoko Marsono

PENDAHULUAN
Masih segar dalam ingatan masyarakat bencana tsunami yang melanda kawasan Aceh dan sekitarnya sekitar dua tahun yang lalu. Betapa dahsyat bencana tersebut dapat ditandai dengan banyaknya korban yang mencapai ratusan ribu jiwa, rusaknya sejumlah pemukiman, infrastruktur dan lain sebagainya, tanpa kita bisa berbuat apa-apa. Semuanya terjadi begitu saja dalam bilangan menit, namun dampak kerusakan dan korban sangat terasa menyesakkan bagi seluruh bangsa bahkan cenderung traumatis. Oleh karena itu pada saat gempa dengan skala 5,9 skala Richter di Daerah Istimewa Yogyakarta 27 Mei yang lalu di saat orang baru saja bangun dari tidur untuk memulai aktivitas kesehariannya, isu tsunami muncul dengan mencekam hampir seluruh warga. Hal ini menggambarkan betapa traumatisnya masyarakat akan terjadinya tsunami di Aceh yang begitu memilukan. Dan ternyata beberapa waktu kemudian benar-benar muncul tsunami di Pangandaran yang dampaknya sampai di DIY dan sampai merenggut korban jiwa. Berita seminggu terakhir masih menyisakan rasa was-was karena adanya gelombang pasang di pantai selatan DIY yang juga mengakibatkan berbagai kerusakan.
Sumber informasi tentang kebumian mengisyaratkan bahwa kita berada pada jalur gempa tektonik. Para ahli hampir semua sepakat bahwa masalah gempa dan tsunami tampak akrab dengan kondisi geografis negara kita. Akan tetapi yang menarik perhatian adalah adanya kecenderungan besarnya dampak yang ditimbulkannya, walaupun pada besaran dan jarak gempa yang sama. Atau paling tidak ada kawasan dengan kondisi geografis sama tetapi dampak kerusakan bisa berbeda. Demikian pula pada jaman dulu menurut sejarahnya dampak tsunami tidak separah yang sekarang. Sudah barang tentu situasi ini tidak akan terlepas dari peran setiap komponen penyebab dampak tsunami itu sendiri. Berikut ini disajikan bahasan terhadap salah satu komponennya sehingga diharapkan dapat mengurangi dampak kerusakan tsunami dan atau gelombang pasang. Terlebih peluang terjadinya gelombang pasang akan semakin besar seiring dengan semakin besarnya efek rumah kaca yang belum terselesaikan cara pengendaliannya.

EKOSISTEM ALAMI KAWASAN PANTAI
Menurut sejarahnya, pada saat ekosistem kawasan pantai belum dimanfaatkan atau masih asli, terdapat beberapa tipe ekosistem alami (vegetasi hutan). Ekosistem ini memanjang mengikuti garis pantai di seluruh pulau baik yang besar maupun yang kecil. Setiap tipe ekosistem ini mempunyai karakteristik yang berbeda sesuai dengan kondisi ekologis setempat. Saat ini ekosistem tersebut sudah rusak karena dimanfaatkan jasa ekonomisnya secara berlebihan, dan tidak mampu lagi berfungsi memberikan jasa lingkungannya. Dan dari waktu ke waktu seiring dengan bertambahnya penduduk dan kesulitan ekonomi setiap ekosistem sumber daya alam (termasuk ekosistem pantai) terus dimanfaatkan sehingga laju kerusakan sangat luar biasa. Namun demikian sisa-sisa atau benteng terakhir ekosistem pantai ini masih dapat dinikmati di beberapa cagar alam dan taman nasional yang mempunyai garis pantai.
Beberapa tipe ekosistem pantai yang dimaksud adalah mangove, hutan pantai dan gumuk pasir (sand dune) beserta vegetasi prescapraenya. Setiap pantai di Indonesia (juga di DIY) memiliki ekosistem ini. Di kawasan yang berlumpur, sedikit gelombang, dekat dengan aliran sungai dan dipengaruhi pasang surut air laut tumbuh mangrove seperti di pantai utara Jawa, Segara Anakan dan cekungan sungai di Kulonprogo. Namun di pantai terjal, ombak besar seperti sebagian besar wilayah DIY telah berkembang ekosistem hutan pantai dan gumuk pasir dan prescaprae (dominasi rumput dan tanaman menjalar). Pada saat seperti ini kawasan pantai memberikan jasa lingkungan yang optimal sesuai dengan kaidah ekologis yang mengatakan struktur ekosistem menentukan fungsi ekosistem. Salah satu fungsi ekosistem tersebut adalah menahan gempuran ombak dari laut termasuk tsunami dan gelombang pasang yang tinggi. Inilah yang menjadi salah satu sebab mengapa pada jaman dulu tidak banyak kerusakan akibat tsunami dan gelombang pasang. Pada saat tsunami Aceh kawasan ekosistem mangove masih terlihat utuh dan terbukti mampu menahannya. Oleh karena itu secara otomatis dan terkesan sangat emosional pemerintah cq Departemen Kehutanan segera merehabilitasi kawasan mangove di Aceh, seakan akan ini merupakan langkah terbaik dalam penanganan pasca tsunami Aceh.

PENGELOLAAN SEMPADAN PANTAI
Sebenarnya kondisi ini sudah diantisipasi dengan baik oleh pemerintah dengan melalui berbagai peraturan perundangan. Sejak dikeluarkannya UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, telah diatur perlindungan sistem penyangga kehidupan yang ditujukan bagi terpeliharanya proses ekologis yang menunjang kelangsungan kehidupan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Selanjutnya dikatakan pemerintah akan mengatur dan menertibkan penggunaan dan pengelolaan tanah dan di perairan yang terletak di kawasan sistem penyangga kehidupan tersebut. Berdasarkan perundangan ini sebenarnya bola pengaturan ada di pihak pemerintah, namun perlu kemudian dicermati sampai dimanakah pengaturan dijalankan.
Aturan perundangan tersebut kemudian dilengkapi dengan Keppres 32 tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung (termasuk kawasan pantai), yaitu diatur jalur hijau pantai yang perlu ditetapkan, ditanami dan dijaga dari kerusakan baik oleh manusia maupun alam. Oleh karena itu telah ditetapkan kawasan perlindungan sempadan pantai adalah daratan sepanjang tepian pantai yang lebarnya proporsional dengan bentang pantai minimal 100 meter dari titik pasang tertingggi ke arah darat. Jalur hijau semacam ini mestinya ada bukan saja diatas kertas tapi juga ada di lapangan, ditetapkan, dikukuhkan dengan tata batas dan berkekuatan hukum. Jika tidak ditindak lanjuti sampai tahap operasional, manfaat peraturan perundangan itu tidak dapat dirasakan bagi kesejahteraan masyarakat di tempat tersebut. Masalahnya yaitu sampai dimana ketentuan ini dilaksanakan. Kekuatan hukum lain adalah UU No 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang yang menyatakan bahwa penetapan kawasan lindung dan kawasan budidaya adalah merupakan bagian dari Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah, namun arahan pengelolaan hutan lindung dan budidaya dilakukan melalui Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tk I yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Dengan demikian jika dicermati akan tampak bahwa landasan hukum kawasan perlindungan pantai di kawasan selatan DIY ini belum sempurna, apalagi tahap operasional. Inilah kenyataan yang dijumpai di kawqasan pantai yang berpeluang tsunami dan gelombang pasang tersebut. Sudah barang tentu penegakan hukum setiap peraturan perundangan sangat penting menyusul jika telah disahkan/dikukuhkan kawasan perlindungan pantai tersebut. Tanpa penegakan hukum yang konsisten aturan perundangan tidak akan berarti sedikitpun.
Dengan telah disahkannya kawasan lindung pantai maka tahap berikutnya adalah dilakukan Rencana Pengelolaan Kawasaan Lindung. Rencana ini dapat menjadi pedoman seluruh stakeholder agar bisa berpartisipasi aktif dalam mengelola kawasan. Ini sangat relevan dengan paradigma akuntabilitas publik yang telah menjadi paradigma pemerintah dalam mengelola sumber daya alam, menuju pembangunan berkelanjutan berbasis masyarakat. Ternyata partisipasi masyarakat sebenarnya sudah mulai muncul dengan penanaman cemara udang di pantai selatan DIY walau masih dalam skala kecil. Yang perlu disarankan disini sebenarnya bukan harus menanam cemara udang tetapi membangun ekosistem kawasan pantai yang unggul sesuai dengan karakteristik ekologis kawasan setempat. Demikian pula partisipasi internasional yang diprakarsai Dinas Kehutanan dan Perkebunan DIY dengan mengundang Sumitomo merupakan langkah yang positif. Suatu hal penting yang perlu diingat adalah bahwa manfaat perlindungan kawasan pantai ini bukan saja dari segi lingkungan tetapi juga mampu memberikan dampak positif peningkatan produksi pertanian melalui teknik tertentu yang tidak disampaikan disini.
Demikianlah sekilas tentang perlindungan sempadan pantai yang mestinya tidak digarap secara sporadis dan sesaat seperti sekarang ini tetapi mestinya dirancang melalui landasan hukum dan rancangan baku dan menjadi pedoman bagi seluruh stakeholder. Dengan paradigma partisipatif dan akuntabilitas/keterbukaan seperti ini Insya Alllah perlindungan kawasan pantai akan memberikan kemaslahatan bagi masyarakat pantai. Tapi kapan mulainya ya, saya tidak bisa menjawabnya.

Tidak ada komentar: